Luas areal tanam sagu di Maluku mencapai 31.360 ha yang tersebar di tujuh kabupaten (Alfons dan Bustaman 2005). Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Maluku skala 1:250.000, luas areal sagu masih dapat dikembangkan hingga 649.938 ha (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku 1999). Sagu merupakan tanaman rumpun dan berkembang biak dengan membentuk anakan. Batang sagu mengandung pati (karbohidrat), dan biasanya dipanen setelah berumur 8-10 tahun. Namun jika tanaman dibudidayakan dengan baik, sagu dapat dipanen pada umur 6-7 tahun (Flach 1980). Potensi pohon sagu siap panen di Maluku diperkirakan mencapai 86 pohon/ ha/tahun (Alfons et al. 2004).

Limbah dari hasil panen pohon sagu bermacam-macam dan umumnya belum dimanfaatkan. Salah satu limbah tersebut adalah pucuk batang sagu (1-2 m). Limbah ini dapat menjadi tempat bagi kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus) untuk meletakkan telur. Pertanaman sagu di Maluku umumnya berdekatan dengan tanaman kelapa, sehingga bila telur dalam limbah sagu tersebut menetas dan menjadi kumbang dikhawatirkan dapat menjadi hama pada tanaman kelapa. Larva kumbang merah kelapa dikenal sebagai ulat sagu.

Selain sebagai hama kelapa, kumbang tersebut juga merupakan hama pada tanaman palma lain, seperti sagu, kelapa sawit, enau, dan nipah. Kumbang biasanya hanya tertarik untuk meletakkan telur pada tanaman yang telah mati, bagian pohon kelapa yang luka, dan pucuk atang sagu sisa penebangan. Tanaman kelapa yang terserang kumbang ini ditandai dengan daun terkulai karena pangkal daun dimakan oleh larva. Berbeda dengan kumbang badak, kumbang merah kelapa juga menyerang tanaman kelapa yang masih muda, terutama bagian-bagian ang muda (Pracaya 2005). Ulat sagu belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi.

Ulat sagu juga prospektif sebagai sumber protein pada pakan ternak untuk menggantikan tepung ikan. Pembuatan pakan unggas dan ikan biasanya menggunakan tepung ikan sebagai sumber protein. Proporsi tepung ikan dalam pakan unggas sekitar 5% dan untuk pakan ikan udang) 15%. Apabila produksi pakan unggas mencapai 5 juta t/tahun dan pakan ikan (udang) 2 juta t/tahun maka sedikitnya dibutuhkan 0,25–0,75 juta ton tepung ikan setiap tahun. Dari kebutuhan tersebut, 70% masih harus diimpor antara lain dari Peru dan Chili (Anhar 2004). Harga tepung ikan dengan kandungan protein 23,08%, lemak 1,90%, dan energi metabolis 1.543 kkal/kg cukup tinggi (Antawidjaja et al. 1997).

Harga pakan yang mahal masih menjadi kendala dalam usaha ternak unggas serta budi daya ikan dan udang di Maluku, karena pakan masih didatangkan dari luar Maluku. Biaya pakan mencapai 60-70% dari total biaya operasional.


Potensi Produksi Ulat Sagu

Potensi Sumber Daya Lahan Menurut Louhenapessy (1992) dalam Louhenapessy (2006), Maluku memiliki areal sagu 26.410 ha, yang tersebar di Kecamatan Piru 320 ha, Kairatu 2.350 ha, Amahai 1.150 ha, Buru Utara Barat 240 ha, Buru Utara Timur 7.800 ha, dan Kepulauan Aru 9.762 ha. Sementara Alfons dan Bustaman (2005) melaporkan areal sagu di Maluku mencapai 31.360 ha, yang tersebar di Kabupaten Seram Bagian Timur 9.250 ha, Seram Bagian Barat 8.410 ha, Maluku Tengah 6.425 ha, Buru 5.457 ha, Maluku Tenggara Barat 245 ha, Kepulauan Aru 1.318 ha, dan Kota Ambon 225 ha. Berdasarkan peta Zona Agroekologi Maluku skala 1: 250.000 (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku 1999), areal sagu berada pada jenis tanah Hidraquent, Tropaquents, dan Fluvaquents. Jika diasumsikan seluruh luasan tersebut berpotensi untuk pengembangan sagu, karena memiliki karakteristik biofisik yang sama, maka luas lahan yang berpotensi untuk budi daya sagu di Maluku mencapai 649.938 ha. Lahan tersebar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat 948,54 ha, Maluku Tenggara 5.161,78 ha, Maluku Tengah 104.640 ha, Buru 34.887,50 ha, Seram Bagian Barat 36.871,20 ha, Seram Bagian Timur 114.497,19 ha, Kepulauan Aru 351.493,64 ha, dan Kota Ambon 1.436 ha (Susanto dan Bustaman 2006).

Secara agroekologis, lahan yang sesuai untuk tanaman sagu berpotensi pula untuk tanaman pangan lahan basah dan hortikultura, sehingga sebagian lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi lahan sawah, bahkan pemukiman.

Potensi Panen Sagu

Tanaman sagu biasanya dipanen menjelang pembentukan primordia bunga atau bila kuncup bunga telah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda, lebih tegak dan ukurannya kecil. Ciri lainnya adalah pucuk agak menggelembung, duri makin berkurang, dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin. Umumnya petani sagu belum dapat menentukan umur panen tanaman sagu secara tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Jumlah tanaman yang dapat dipanen (masak tebang) dalam satu hektar lahan sagu bervariasi antara 10–38 pohon dengan rata-rata 20 pohon (Louhenapessy 1994), 24 pohon (Witwall 1954 dalam Louhenapessy 1994), atau 82 pohon (Alfons dan Bustaman 2005). Dengan memperbaiki sistem budi daya, Flach (1980) melaporkan jumlah pohon masak tebang bisa meningkat menjadi 134 pohon/ha.

Periode pohon masak tebang pertama ke pohon masak tebang berikutnya dalamsatu lokasi (blok) harus diperhatikan dalam upaya menciptakan sistem produksi berkelanjutan. Menurut Louhenapessy (2006), periode pohon masak tebang dalam satu blok yang sama berlangsung 2–3 ahun. Jika penebangan pohon sagu hanya didasarkan pada sifat fisik tanaman tanpa mempertimbangkan kandungan tepung dalam batang, maka periode pohonmasak tebang menjadi lebih lama, yaitu 6– 7 tahun.

Tanaman sagu di Maluku biasanya dipanen sesuai dengan kebutuhan pangan pemilik atau permintaan pasar. Akibatnya sebagian pohon sagu ditebang lewat masapanen, yang ditandai dengan tumbuhnya bunga sehingga kandungan karbohidratnya rendah. Pada tahun 2006, Pemerintah Provinsi Maluku mulai mengembangkan sagu dengan melibatkan petani, BPTP Maluku, dan Universitas Pattimura dalam bentuk proyek percontohan.

Produksi Ulat Sagu Alami

Ulat sagu dapat diperoleh dari alam, yaitu dari limbah panen pohon masak tebang, kurang lebih 1-2 m pada bagian atas batang hingga pucuk. Panen ulat sagu secara alami dilakukan dengan mencari limbah pucuk atau batang sagu yang telah berumur 30-40 hari setelah ditebang. Untuk mengetahui dalam gelondongan (batang) sagu terdapat ulat, dilakukan dengan cara mendengar. Bila terdengar ada suara benda bergerak berarti di dalam gelondongan tersebut terdapat ulat sagu. Ulat  diambil dengan cara membelah batang dan biasanya ulat terdapat pada alur makannya.

Pada tahun 2006, jumlah pohon sagu yang dimanfaatkan di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat pada empat sentra produksi sagu mencapai 7.236 pohon. Jika rata-rata potensi ulat 2,89 kg/m3 maka produksi ulat sagu di empat sentra produksi tersebut mencapai 2,56 t/ tahun. Ulat sagu memiliki berat 3,10-3,58 g/ekor dengan panjang 3,18-3,72 cm. Jumlah larva setiap batang 91-118 ekor. Menurut Alfons et al. (2004), Maluku saat ini memiliki areal sagu 31.360 ha, dengan rata-rata tanaman yang siap tebang 86,15 pohon/ha. Hal ini berarti akan ada 2.701.664 pohon siap tebang. Jika rata-rata volume limbah pucuk sagu 0,14 m3/ pohon dan potensi ulat sagu 2,52 kg/m3 maka produksi ulat sagu Maluku mencapai 953,15 ton.

Panen ulat sagu secara alami hanya dapat dilakukan satu kali pada tiap gelondong limbah sagu. Hal ini karena pada waktu memanen ulat sagu, media tumbuh (gelondong) batang sagu dirusak (dibelah). Waktu yang dibutuhkan untuk memanen ulat sagu dalam satu gelondongan ata-rata 1-2 jam, dengan hasil panen 300-400 g. Rata-rata petani sagu di Maluku memiliki 100-200 pohon sagu /ha. Jumlah ulat sagu yang dihasilkan setiap gelondong sagu, baik pucuk maupun batang, beragam. Variasi ini dipengaruhi oleh: 1) lamanya waktu pembusukan batang (gelondong) sagu untuk berkembangnya larva hingga dipanen, 2) volume batang atau gelondong yang mencerminkan kandungan karbohidrat sebagai sumber makanan larva, dan 3) faktor lain seperti jumlah kumbang betina yang meletakkan telur pada gelondong.

Produksi Ulat Sagu melalui Budi Daya

Teknologi budi daya ulat sagu didasarkan pada daur hidup kumbang merah kelapa.Kumbang terbang pada siang hari dan  biasanya tertarik pada batang sagu (juga batang tebu) yang telah ditebang dan agak membusuk. Pada waktu akan bertelur, kumbang betina membuat lubang dengan sungutnya pada bagian batang yang luka atau busuk (layu). Lubang sedalam 3 mm diisi 400-500 butir telur. Periode bertelur berlangsung 1-3 bulan. Telur akan menetas dalam 2-3 hari. Larva yang baru menetas masuk ke dalam pucuk batang dan memakan jaringan yang lunak serta membuang bagian yang berserat ke luar lubang, sehingga di luar lubang akan terlihat adanya getah dengan kotoran dan bekas makanan yang berbau tajam.

Periode larva berlangsung sekitar 2 bulan. Larva dapat tumbuh hingga panjang 5 cm dan lebar bagian tengah 2 cm. Saat akan menjadi pupa, larva membuat kepompong dari serat berbentuk silindris. Fase pupa berlangsung 2-3 minggu. Daur hidup kumbang kelapa lebih kurang 3,50-7 bulan.

BPTP Maluku (Edrus et al. 2007) telah berhasil membudidayakan ulat sagu pada gelondongan (batang) sagu sebagai media penangkaran. Ke dalam alat penangkar (Gambar 2) dimasukkan induk kumbang sebanyak 28 ekor secara bertahap. Gelondong disiram air 2 hari sekali agar embap dan serat kayu cepat membusuk. Penangkaran dijaga sehingga tidak ada kumbang yang masuk dari luar. Budi daya ulat sagu hingga panen berlangsung 39-45 hari. Hasil panen ulat sagu melalui budi daya lebih banyak daripada secara alami, karena ulat sagu tidak ada yang berubah bentuk menjadi kumbang.

Budi daya selama 42 hari menghasilkan ulat sagu dengan bobot rata-rata 3,27 g/ekor dan panjang 3,30 cm. Jumlah larva tiap batang 127 ekor (volume batang 0,15 m3) sehingga produktivitas 2,77 kg/m3. Panen ulat sagu secara alami produktivitasnya hanya 2,52 kg/m3.

Menurut petani sagu, tidak ada musim khusus bagi kumbang merah kelapa untuk bertelur. Waktu kumbang bertelur berhubungan dengan regenerasi larva menjadi kumbang. Jumlah kumbang di alam meningkat seiring dengan banyaknya limbah pengolahan sagu. Dengan demikian, tersedianya limbah sagu memberikan kesempatan bagi kumbang merah kelapa untuk berkembang biak secara alami sepanjang tahun.

Waktu panen ulat sagu berkaitan erat dengan siklus kumbang merah kelapa, yang dimulai dari telur, kemudian larva instar 1, 2, 3, 4, 5, 6, dilanjutkan dengan stadium kepompong sampai kemudian menjadi imago dan kumbang dewasa (Gambar 3). Waktu panen ulat sagu terbaik dalah pada larva instar 5 dan 6, atau berumur 39-45 hari sejak gelondong sagu yang ditemukan ada telurnya. Larva instar 5 dan 6 dengan umur 39- 45 hari memiliki bobot masing-masing 4,10–5 g dan 5,10–6 g. Larva instar 6 telah mendekati masa kepompong, sehingga waktu pertumbuhan lebih dari 45 hari merupakan saat kritis bagi pemanenan. Oleh karena itu, waktu panen yang baik adalah 39-45 hari setelah panen sagu.


Prospek Pemanfaatan Ulat Sagu

Penelitian dan pengkajian (litkaji) tentang pemanfaatan sumber daya lokal untuk pakan ternak telah banyak dilakukan guna memenuhi kebutuhan protein bagi ternak, seperti penggunaan rayap dan cacing  tanah untuk pakan ayam buras atau bekicot (keong) untuk pakan itik (Tiro et al . 2002; Uhi dan Hetharia 2002; Usman et al. 2002; Matitaputty 2003). Hasil litkaji menunjukkan serangga dapat dimanfaatkan dalam membuat pakan unggas. Berdasarkan hasil analisis proksimat, ulat sagu mengandung protein 13,80%, lemak
18,09%, dan air 64,21% (Wikanta 2005). Ulat sagu juga mengandung berbagai asam amino esensial yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi alternatif sumber protein dalam pakan ternak.

Masyarakat di desa sentra pengolahan sagu di Papua dan Maluku telah terbiasa mengonsumsi ulat sagu dan tidak memberikan efek samping seperti alergi atau keracunan. Berdasarkan kandungan protein dan asam amino ulat sagu, BPTP Maluku telah membuat ransum pakan ikan dan ayam buras dengan menggunakan ulat sagu sebagai pengganti tepung ikan. Namun belum diperoleh persentase ulat sagu yang tepat pada ransum.

Informasi dan pemanfaatan ulat sagu sebagai sumber protein pada pakan ternak masih terbatas. Namun demikian, ulat sagu prospektif sebagai salah satu alternatif sumber protein pada pakan.


Kesimpulan dan Saran

Provinsi Maluku memiliki areal sagu 31.360 ha yang tersebar di tujuh kabupaten. Berdasarkan peta AEZ skala 1:250.000, lahan yang berpotensi menjadi areal sagu mencapai 649.938 ha. Tanaman sagu yang dapat dipanen dalam setahun mencapai 86 pohon/ha. Limbah hasil panen tanaman sagu, dalam bentuk gelondong batang hingga ke pucuk yang telah layu (busuk), merupakan habitat ulat sagu. Ulat sagu dapat diperoleh dari alam maupun melalui budi daya. Tingkat pemanfaatan pohon sagu di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat pada tahun 2006 mencapai 7.236 pohon, dengan produksi ulat sagu secara alami 2,56 ton (produktivitas 2,89 kg/m3).

Potensi ulat sagu Maluku diasumsikan 953 ton, berdasarkan luas aktual tanaman sagu saat ini dan produktivitas rata-rata 2,52 kg/m3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku telah berhasil membudidayakan ulat sagu pada media gelondong (batang) sagu. Budi daya selama 42 hari menghasilkan  ulat sagu dengan bobot 3,27 ± 1,30 g/ekor, panjang 3,30 ± 0,75 cm, dan jumlah larva per batang 127 ekor (volume batang 0,15 m3 dengan produktivitas 2,77 kg/m3). Perkembangbiakan kumbang merah kelapa terjadi sepanjang tahun. Waktu panen ulat sagu yang tepat adalah pada umur 39-45 hari setelah tanaman sagu ditebang atau saat larva pada fase instar 5 dan 6.

Ulat sagu mengandung protein 13,80% serta sejumlah asam amino yang relatif tinggi. Pemanfaatan ulat sagu saat ini masih terbatas, tetapi prospektif sebagai sumber protein pada pakan ternak. Namun, komposisinya yang tepat pada ransum pakan unggas dan ikan perlu iteliti agar kualitas pakan setara dengan pakan komersial.

#dari : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku